Powered By Blogger

Rabu, 23 November 2011

Relevansi Didache Bagi Katekese Zaman Sekarang

Didache masih relevan dalam hidup kita di zaman sekarang ini. Isi dari didache sangat menarik untuk dicermati.  Ada empat pokok pembicaraan dalam didache yakni; pertama, pengajaran moral tentang cara hidup jemaat, yang dibangun berdasarkan dua jalan yakni jalan kehidupan dan kematian. Bagi kita orang Kristen, jalan kehidupan dan kematian adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita di zaman sekarang ini. Jalan kehidupan dan kematian diletakkan dalam konteks kehidupan Yesus sendiri dimana orang Kristen percaya akan Yesus yang sengsara, wafat dan dibangkitkan dari orang mati. Bagi kita sendiri mengimani Kristus yang sengsara, wafat dan bangkit merupakan pokok dari iman hidup kita.
            Kedua, pengajaran peribadatan /liturgi: mencakup liturgi baptisan, puasa, doa dan peryaaan Ekaristi. Dalam konteks zaman sekarang pengajaran ini masih relevan. Hidup jemaat Kristen zaman sekarang masih diwarnai dengan cara beribadat dan berdoa. Penting bahwa setiap orang Kristen untuk menghayati pembaptisan yang telah diterimanya serta menjadi bagian dari Gereja, misalnya mengikuti kegiatan Gereja dengan aktif demi perkembangan gereja. Puasa merupakan bentuk solidaritas terhadap sesama, hal ini terus diimani dan diyakini sehingga setiap kali orang Kristen berpuasa berarti menyadari akan solidaritasnya dengan kaum lemah dan tak berdaya. Sebagai puncak iman Kristiani adalah Perayaan Ekaristi dan dalam kontek zaman sekarang Ekaristi semakin membentuk iman orang Kristiani dalam hal mengikuti Yesus Sang Gembala Agung. Dalam Ekaristi juga Kristus dikenang kembali sebagai puncak dan pokok hidup orang Kristen.
            Ketiga, Hidup komunitas; berisikan tentang nasihat untuk hidup berkomunitas dan petunjuk untuk para pemimpin serta pelayan. Hidup komunitas yang dicita-citakan adalah suatu bentuk hidup demi kesejahteraan bersama, dimana ada keadailan dan cinta kasih. Oleh karena itu hidup orang Kristen zaman sekarang juga hendaknya menjadi contoh yang baik bagi hidup orang-orang disekitarnya dengan membangun komunitas yang saling, memperhatikan, manghargai dan menghormati satu dengan yang lainnya. Hidup komunitas yang dicita-citakan dapat terwujud jika adanya kerjasama yang baik antara para pemimpin dalam arti mereka yang lebih tinggi pangkat atau kedudukannya menghargai dan menghormati rakyatnya atau mereka yang lebih rendah kedudukannya.
            Keempat, nasihat intuk berjaga-jaga demi hidup. Kedatangan Kerajaan Allah tidak diketahui kapan saatnya. Bagi kita yang hidup pada zaman sekarang ini  nasihat ini sungguh relevan mengingat bahwa Kerajaan Allah sudah ada ditengah-tengah kita. Bentuk nyata dari Kerajaan Allah adalah situasi diman Allah meraja. Kita dapat  menyaksikan atau merasakan adanya kedamaian hidup, ketenteraman, keadilan, cinta kasih yang terus diperjuangkan dalam menghormati manusia sebagai ciptaan Allah. Oleh karena itu nasihat untuk berjaga-jaga merupakan suatu bentuk motivasi atau dorongan bagi setiap orang beriman untuk lebih memaknai hidup, memberi warna yang baru dalam hidup, dengan berpikir dan bertindak sebagai umat Kristiani yang memperjuangkan terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah dalam hidup.
              Keempat pokok hidup jemaat Kristen seperti yang dijelaskan diatas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaspisahkan dari kehidupan orang Kristen zaman sekarang dalam menghayati pokok-pokok iman Kristen. Dalam konteks zaman sekarang perlu disadari pula bahwa didache yang dulu bersifat pengajaran telah berkembang dan mendapat perkembangannya seiring dengan perkembangan iman orang Kristen zaman sekarang. Namun yang pokok dalam didache seperti pengakuan iman, kebersamaan dan keramahtamaan di dalam hidup berjemaat tetap dijarakan.  Dalam konteks katekese, pengajaran dalam didache tidak bersifat teoritis tetapi praktis, sesuai dengan kebutuhan umat yang dihadapinya. Umat merasa tersapa dengan pengajaran karena ajaran didache sederhana, menggunakan bahasa sederhana dan jelas, sehingga dapat dipahami oleh umat yang sederhana. Oleh karena itu didache masih relevan dengan pokok-pokok iman yang dihidupi oleh jemaat dahulu sampai sekarang.

Katekese Transformatif

Perbincangan tentang agama dan masyarakat memang tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis hal itu dikarenakan oleh watak kehadiran agama. Agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya , ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri ini, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi.
Fungsi transformatif; agama dapat mendorong manusia untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Misalnya, dengan agama, umat manusia mampu menciptakan karya-karya seni besar, seperti candi, masjid, dan bangunan-bangunan lainnya; penyebab timbulnya penjelajahan samudra salah satunya didorong oleh keinginan menyebarkan agama. Pada umumnya, suatu agama memiliki aturan yang berbeda dengan ajaran agama lain. Oleh karena itu, kita harus dapat menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat agar tidak terjebak dalam fanatisme agama yang berlebihan. Dengan kata lain, kita harus mampu menyeimbangkan antara hubungan vertikal kita dengan Tuhan (melalui ajaran agama) dan hubungan horizontal kita dengan sesama manusia atau masyarakat.
 Bila keadaan ini dapat kita ciptakan dan pelihara, maka akan tercipta suatu kehidupan keagamaan yang serasi dan saling menghormati sebagaimana termuat dalam butir II sila I Pancasila, “Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup”.
Di Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan di negeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampung halamannya, tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasihi. Pertanyaan tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun dan relegius, berubah beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama, jawabanya tidak pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor keagamaan, etnisitas, ekonomi dan politik atau faktor lain, masih menjadi bahan perdebatan panjang. Fungsi agama pun tetap diperdebatkan oleh para ilmuan, apakah agama sebagai pemicu konflik atau agama sebagai faktor integrasi sosial yang memiliki fungsi transformatif.
      Sebagai pewarta, saya dibantu untuk mempunyai daya analisa dan berpikir kritis terhadap kenyataan yang saya hadapi dalam masyarakat. Dalam karya katekese tentunya tidak terlepas dari bagaimana saya menganalisa dan mencari penyelesaian yang tepat terhadap masalah sosial keagamaan. Katekese juga memiliki fungsi transformatif dimana dalam semangat tardisi profetik adalah model katekese yang melayani Allah sepenuh hati dengan jalan mengabdikan diri sepenuhnya kepada kemanusiaan.




Fungsi Transformatif Agama

Ketika kita menghendaki kehidupan keberagaman kita menjadi kehidupan keberagamaan transformatif dalam masyarakat maka kita perlu memiliki keberaniaan untuk terus menerus mempersoalkan model penghayatan hidup keberagamaan kita. Kita tidak boleh puas dengan model penghayatan hidup keberagamaan yang telah ada. Sebab boleh jadi apa yang kita anggap sebagai model penghayatan hidup keberagamaan transformatif itu untuk konteks sosial ekonomi dan politik tertentu, dalam konteks sosial ekonomi dan politik yang lain tidak lagi transformatif.  Malahan model penghayatan hidup keberagamaan itu telah menjadi sangat represif. Contohnya tentang bagaimana peranan agama-agama di Indonesia selama Orde Baru.
Seperti kita tahu bahwa harapan untuk mengikutsertakan agama-agama dalam rencana-rencana pembangunan nasional waktu itu ialah agar agama-agama dapat mendorong proses transformasi sosial, baik secara ekonomi maupun politik, agar Indonesia pasca Orde Lama boleh menjadi Negara yang demokratis, adil secara politik dan berkecukupan secara ekonomi. Tetapi apa yang kita lihat ialah agama-agama justru kehilangan fungsi transformatif itu dan menjadi hakim kepentingan kelompok kecil yang mendominasi kekuasaan ekonomi dan politik.
Keberagamaan transformatif adalah model penghayatan hidup keberagamaan yang memelihara tradisi kritis atau dalam bahasa Kitab Suci  disebut tradisi profetik. Tradisi kritis atau profetik sangat penting. Sebab, seperti telah disinggung di atas, bahwa nilai-nilai agama dalam penghayatan hidup keberagamaan umat selalu bersifat interpretatif. Dan nilai-nilai agama yang bersifat interpretatif itu selalu akan dipengarahi oleh aspirasi dan kepentingan penganut, baik secara sosial ekonomi maupun politik. Karena itu, tanpa tradisi kritis atau profetik, kehidupan keberagamaan akan selalu berada dalam bahaya mempertahankan nilai-nilai keagamaan yang bersifat interpretatif itu dalam bentuk nilai-nilai agama yang baku  dan ideologis. Model keberagamaan transformatif adalah model keberagamaan yang merupakan kesadaran religius atau kesadaran hidup meng-agama yang lahir dari pelayanan liturgis berdimensi ganda, yaitu : mengabdi kepada Allah dan kemanusiaan.
Jadi, keberagamaan transformatif dalam semangat tardisi profetik adalah model keberagamaan yang melayani Allah sepenuh hati dengan jalan mengabdikan diri sepenuhnya kepada kemanusiaan. Itu berarti bahwa nilai-nilai agama yang bersifat interpretatif dalam penghayatan umat beragama selalu harus diuji oleh sejauh mana penghayatan itu mendorong seseorang menjadi pribadi yang berkeadaban dan mendorong berkembangnya masyarakat yang berkeadaban. Kedua artikel di atas melihat secara kritis keberagamaan transformatif dalam semangat tradisi profetik yang adalah model keberagamaan yang memuliakan Allah dengan mengabdi kepada kemanusiaan yang konkret, bukan kemanusiaan yang abstrak secara ideologis.  


Minggu, 20 November 2011

komunikasi iman dalam keluarga

Persatuan suami-isteri, persatuan orang tua-anak merupakan dasar bagi terbentuknya Gereja sebagai Umat Allah. Persatuan suami-isteri, persatuan orang tua-anak merupakan umat Allah dalam bentuknya yang paling kecil. Di dalam keluarga, seorang pribadi mempunyai pengalaman pertama tentang Gereja. Orang tua mulai menanamkan sejak dini kebiasaan-kebiasaan baik di dalam keluarga sebagai orang beriman  kepada anak-anaknya. Dengan demikian, keluarga menjadi tempat dimana komunikasi iman terjadi. Imbauan Apostolik Bapa Suci Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, menegaskan,”…keluarga seperti halnya Gereja harus merupakan suatu tempat dimana Injil diteruskan dan darimana Injil bercahaya”.
Jadi, keluarga merupakan tempat dimana kabar gembira Injil harus diwartakan. Keluarga merupakan bentuk Gereja yang paling kecil tempat dimana anggota-anggotanya bertumbuh makin dewasa dalam beriman. Dari keluarga-keluarga dimana anggota-anggotanya bertumbuh dewasa dalam iman, kita bisa berharap bahwa kabar gembira Injil diteruskan. Di dalam keluarga orang tua mengkomunikasikan nilai-nilai kepada anak-anaknya seperti kasih, kesetiaan, kesederhanaan, pengampunan dan lain-lain.
Dengan kata lain, keluarga haruslah merupakan tempat dimana Komunikasi iman terjadi. Mengenai hal ini, tentu saja tanggungjawab orang tua sangat penting. Komunikasi iman harus dimulai oleh orang tua. Dalam hal ini teladan dan contoh hidup orang tua sangat menentukan. Sebab KOMUNIKASI IMAN Harus diteruskan melalui perkataan dan perbuatan. Orang tua yang mengakhiri perkawinan dengan perceraian tentu saja sangat sulit untuk mengajari anak-anaknya mengenai nilai kesetiaan dalam perkawinan. Mereka yang terbiasa hidup mewah dan suka hidup dengan semangat boros, menjadi sangat sulit untuk mengajari anak-anaknya bagaimana hidup sederhana. Mereka yang sulit memberikan maaf menjadi sangat sukar untuk menanamkan pengampunan kepada anak-anaknya.
Sangat disayangkan sikap dan perilaku orang tua, jika karena ketidakcocokan dan benturan pendapat yang bisa saja terjadi dalam hidup bersama kemudian meninggalkan gereja atau memilih mengikuti kegiatan di lingkungan Paroki lain. Bagaimana bisa mengajari anak untuk terlibat dalam kegiatan menggereja di lingkungan basis jika orang tua sendiri justeru memilih meninggalkan gereja basis karena rasa tidak cocok dengan sesama warga di lingkungan? Keluarga sebagai basis Gereja haruslah menjadi tempat dimana KOMUNIKASI IMAN terjadi dan bukan komunikasi karena cocok. Jika keluarga-keluarga menjadi tempat dimana KOMUNIKASI IMAN  terjadi, maka kita bisa menaruh harapan besar, bahwa lingkungan-lingkungan, wilayah-wilayah, Paroki dan akhirnya Gereja kita menjadi tempat “darimana Injil bercahaya”. Setiap anggota lalu bertumbuh dan berkembang menjadi anak-anak Allah yang saling mendukung dalam pertumbuhan iman.
Apakah Komunikasi Iman dalam keluarga mempengaruhi tingkah laku anak sebagai umat Katolik? Menurut penulis, persis disinilah letak perbedaan pokok yang manusiawi dan yang imani. Tentu saja sesuatu yang manusiawi jika saya cenderung dekat dengan siapa pun – yang dalam banyak hal memiliki kecocokan dan kesamaan. Kenyataan seperti itu sangat biasa. Sangat manusiawi. Oleh karena itu penulis mengambil judul skripsi “ Pengaruh Komunikasi Iman Dalam Keluarga Terhadap Sikap Anak Sebagai Umat Katolik “
Komunikasi iman  kristiani mesti bergerak dari komunikasi yang manusiawi ini kepada komunikasi yang imani. Disitu orang akan menghadapi bermacam-macam kenyataan dimana ada banyak sekali keanekaragaman di dalam kehidupan ini. Makin disadari bahwa suami berbeda dengan isteri. Orang tua berbeda dengan anak-anaknya. Keluarga yang satu berbeda dengan keluarga yang lain. KOMUNIKASI IMAN lalu mencerahi berbagai bentuk perbedaan itu dan berjuang bahkan kalau perlu berkorban untuk mengatasi ketidakcocokan atau ketidaksamaan yang ada.
Bentuk-bentuk kesakitan yang menimpa anggota di dalam keluarga seperti menyimpan kesalahan pasangan, kemarahan yang tak terkendali, kekecewaan yang mendalam, perasaan tidak tergantung satu sama lain, kecemasan yang tak perlu, terlalu mementingkan diri, yang tentu saja berpengaruh dalam membangun hubungan dengan orang lain dalam lingkup yang luas hanya bisa disembuhkan oleh satu kekuatan yaitu: IMAN. Iman yang menyelamatkan. Berbagai kisah penyembuhan di dalam Kitab Suci, berkali-kali menegaskan tentang hal ini. Kepada perempuan yang sakit pendarahan, Yesus berkata,”Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan Engkau…”(Mrk 5:34). Kepada si buta Bartimeus, Yesus berkata,”…imanmu telah menyelamatkan engkau…”(Mrk 10:52). Dan tentu saja masih banyak kisah dalam Kitab Suci yang menggambarkan kekuatan iman yang menyembuhkan. Iman berarti keyakinan, bahwa Allah menghendaki agar semua orang diselamatkan, sebab hanya Dia saja yang sanggup “menjadikan segala-galanya baik” (Mrk 7:37).
Suami-isteri dan anak-anak meletakkan dasar kebersamaan bukan pada kecocokan melainkan pada iman. Karena membangun kebersamaan karena iman, maka Allah sendiri akan menjadikan setiap anggota di dalam keluarga menjadi baik pada saatnya. Keluarga-keluarga yang kemudian membentuk lingkungan menjadi basis yang berkualitas jika membiasakan diri membangun KOMUNIKASI IMAN diharapkan mampu memberikan sumbangan positif bagi tingkah laku anak, sehingga anak juga semakin mengenali dan mendalami tinggkah lakunya sebagai umat Katolik baik itu di keluarga, lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

Sabtu, 19 November 2011

Mazmur 111


       I.            Alasan Memilih Mazmur
Alasan penulis memilih Mazmur 111 karena penulis merasa tertarik dengan perbuatan Allah yang adil dan benar. Bahwa perbuatan Allah yang adil dan benar masih dirasakan sampai sekarang. Di tengah penderitaan dan ketidakadilan yang dialami manusia, Allah memberi kemungkinan dan pengharapan bagi siapa saja yang datang pada-Nya. Ada “jalan baru” yang ditawarkan Allah pada setiap orang yang berjalan menurut kehendak-Nya.
Penulis juga ingin mendalami perbuatan-perbuatan Allah yang relevan dengan situasi dan kondisi zaman sekarang. Mendalami Mazmur 111 erat kaitannya dengan sikap hidup yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang yang percaya pada Tuhan yakni beryukur atas perbuatan-perbuatan Tuhan dalam hidup.  Ada beberapa pertanyaan yang menjadi bahan permenungan pribadi penulis: Melalui perbuatan tangan Allah, apa yang dapat penulis pelajari mengenai diri Allah? Apa yang harus menjadi pedoman dalam seluruh hidup dan perbuatanku? Mengapa orang yang takut akan Tuhan dikatakan berbahagia?
Penulis juga melihat pengalaman akan  sifat Allah yang menonjol misalnya, kudus, adil, pengasih dan penyayang.  Ini merupakan pengakuan iman yang mendalam, hasil dari pengalaman yang  mendalam dengan Allah.  Pengalaman ini dirasakan sebagai suatu pengalaman keterkejutan ( surprise) yang membahagiakan. Bahwa ketika seseorang menyadari keterbatasannya, di saat itu ia menyadari bahwa ada yang melampaui keterbatasannya itu. Bukan semata-mata usaha manusia namun Allah yang sungguh-sungguh membangkitkan manusia. Ada sumber  pengharapan sekaligus memotivasi dan memberikan kekuatan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan hidup.
    II.            Tujuan
            Tujuan dari penulis memilih Mazmur ini adalah: memupuk kebiasaan memuji Tuhan dengan segenap hati mempertajam iman kita di tengah tantangan dan  penderitaan kita, sehingga Allah dialami begitu konkret dan sangat dekat.

 III.            Struktur Penulisan (Pariera, Tafsir Kitab Mazmur 73-150. Hal 311-315)
1.      Ayat 1, Merupakan ungkapan Syukur kepada Tuhan.
2.      Ayat 2-5, Perbuatan-perbuatan Tuhan yang tampak.
3.      Ayat 6-9, Tuhan membawa umat-Nya.
4.      Ayat 10, Hidup menurut pola Tuhan

 IV.            Latar Belakang Mazmur 111 (Pariera. Hal 311)
Mazmur 111 digubah secara akrostik, dimana setiap barisnya dimulai dengan huruf-huruf yang disususn menurut abjad. Tema yang diangkat dalam mazmur ini sebetulnya termasuk tema-tema yang umum, yaitu pembebasan umat Israel dari tanah Mesir dan penyartaan Tuhan ketika mereka masuk ke tanah terjanji. Karena itu ada penafsir yang berpendapat bahwa mazmur ini digubah oleh seorang pemimpin umat yang sedang merenungkan kitab Ulangan. Dalam perbuatan di masa lalu itu ia menemukan kebesaran Tuhan dan membagikannya kepada seluruh umat melalui mazmur ini.

    V.            Genrenya
Mazmur ini menurut Claus Westertmann dikelompokkan  sebagai Mazmur pujian deklaratif individual.  Mazmur ini memuta unsur-unsur seperti: Allah telah mendengar keluhan dan bertindak menyelamatkan umat-Nya. Pujian merupakan tanggapan langsung terhadap tindakan penyelamatan Allah bagi umat-Nya. Pada bagian ini tindakan Allah diungkapkan, dilaporkan dan diperdalam maknanya. Pujian kepada Allah dilambungkan dengan penuh kegembiraan.
Bersyukur karena takut akan Tuhan. Ucapan pujian dan syukur bagi Allah keluar dari setiap mulut manusia yang memiliki hati yang takut akan Tuhan. Ucapan pemazmur, "Aku mau bersyukur kepada Tuhan dengan segenap hati, dalam lingkungan orang-orang benar dan dalam jemaat".  Bagian yang sangat menentukan adalah tindakan pembebasan dan penyelamatan Allah. Allah mengubah kesedihan menjadi kegembiraan. Pengalaman ini mendatangkan kebahagiaan istimewa bagi pemazmur. Dari sebab itu, tindakan Allah itu pantas disyukuri dan dipuji.

 VI.            Tafsiran
Mazmur 111 ini merupakan ucapan syukur seseorang yang telah mengalami kebaikan Tuhan dalam hidupnya. Dalam ucapan syukurnya, ia menyaksikan perbuatan Allah kepada umat Tuhan agar kumandang pujian menggema dalam ibadah umat Tuhan.   Memotivasi Kristen untuk merenungkan pekerjaan Tuhan setiap hari dalam hidup ini. Motivasi ini akan mendorong Kristen untuk lebih sering memuji nama Tuhan di setiap saat dan tempat (ayat 1).
Pemazmur melihat dunia ini penuh dengan perbuatan ajaib Tuhan, yang patut direnungkan dan digemakan, agar selalu menjadi dasar kekuatan umat Tuhan untuk bersyukur bahkan ketika dunia menyajikan ketidaknyamanan hidup. Lebih khusus lagi, pemazmur memperhatikan karya Tuhan dalam kehidupan bangsanya (ayat 2-5). Pemeliharaan dan perlindungan Tuhan dalam sejarah bangsa Israel merupakan pengalaman yang tidak pernah boleh mereka lupakan. Hal itu merupakan keyakinan pemazmur bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan mereka.
Akhirnya, pemazmur melandaskan ucapan syukurnya kepada karakter adil dan benar dari Allah yang tidak pernah berubah . Karakter inilah yang menjadi satu jaminan yang pasti bahwa perjanjian-Nya kekal (ayat 6-9). Dan demi nama-Nya yang kudus dan dahsyat itu, pemazmur dan umat Tuhan pasti akan mengalami terus-menerus kasih setia Tuhan. Hanya orang berhikmatlah yang melandaskan hidupnya pada karakter Tuhan yang teguh tersebut.  Takut yang dimaksud bukanlah seperti saat kita melihat hantu atau binatang buas, namun penghormatan dan penghargaan terhadap Pribadi Tuhan karena Dia adalah Allah yang kudus, yang di dalamnya terkandung unsur ketaatan dan keengganan kita melakukan dosa (ayat 10).

VII.            Dialog pemazmur dengan pengalaman hidup.
Di awal mazmur ini pemazmur mengungkapkan kesungguhan hatinya untuk bersyukur kepada Tuhan.  Pemazmur juga ingin mengajak orang-orang di sekitarnya ikut bersyukur bersamanya.  Dengan demikian kita bisa melihat betapa besarnya rasa syukur yang ada di dalam hati pemazmur.  Dari manakah rasa syukur ini?  Pemazmur menyelidiki perbuatan-perbuatan Tuhan dalam kehidupan umat-Nya.  Jika saya suka menyelidiki (atau, merenungkan) perbuatan-perbuatan Tuhan dalam kehidupan saya, maka rasa syukur pun akan melimpah dari dalam hati saya.  Rasa syukur itu mengalir spontan sebagai respon atas kebesaran kuasa Tuhan yang bekerja di antara umat-Nya.
Pemazmur menyebutkan beberapa hal yang Tuhan lakukan bagi umat-Nya.  Kepada umat-Nya Tuhan memberikan rezeki (untuk kehidupan setiap hari), tanah pusaka sebagai tempat tinggal dan wujud keberadaan mereka sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, dan kebebasan dari musuh yang menjajah mereka.  Apa tujuan Tuhan melakukan semua itu kepada mereka?  Semua dilakukan-Nya agar mereka semakin mengenal Dia.  Melalui perbuatan-perbuatan-Nya itu umat Tuhan dapat mengenal Dia sebagai Allah yang adil dan benar, sekaligus juga pengasih dan penyayang. 
Ketika saya  merenungkan karya Tuhan dengan cara yang benar, maka dampaknya akan terlihat dalam kehidupan saya. Pengalaman saya ketika mengikutui perayaan Ekaristi, terkadang saya megikuti sebagai formalitas. Sambut hosti dan pulang. Sehingga saya sering merasa bahwa apa yang saya buat tidak bermakna sama sekali. Menurut saya, orang-orang yang mengerti kebesaran kuasa-Nya akan menghormati Dia dan dengan demikian memperoleh hikmat untuk menjalani kehidupannya.  Orang-orang yang mengerti kebesaran kuasa-Nya akan mengisi hidupnya dengan puji-pujian kepada-Nya.  Apakah dua hal tersebut terdapat dalam kehidupan saya dan anda?